Cedera Hamstring pada Pemain Sepak Bola

Cedera hamstring merupakan salah satu permasalahan muskuloskeletal yang paling umum dan seringkali menghambat karier pemain sepak bola. Kompleksitas gerakan dalam sepak bola, yang melibatkan sprint intensitas tinggi, akselerasi dan deselerasi mendadak, tendangan, serta peregangan berlebihan, menjadikan kelompok otot hamstring sangat rentan terhadap cedera. 

Pemahaman mendalam mengenai aspek anatomi, biomekanik, mekanisme terjadinya cedera, ragamnya, faktor risiko, prevalensi, dampak fisiologis dan psikologis, prognosis, serta proses rehabilitasi yang komprehensif sangat krusial bagi para profesional di bidang olahraga, termasuk fisioterapis, pelatih, dan dokter tim, dalam upaya pencegahan, penanganan, dan pengembalian pemain ke lapangan dengan aman dan efektif.

Anatomi dan Biomekanik Otot Hamstring

Kelompok otot hamstring terletak di bagian posterior paha dan terdiri dari tiga otot utama:
  • Biceps Femoris: Otot ini memiliki dua kepala, yaitu kepala panjang (caput longum) yang berorigo pada tuberositas ischiadicum dan kepala pendek (caput breve) yang berorigo pada linea aspera femur. Kedua kepala bersatu dan berinsersi pada caput fibulae. Biceps femoris berperan dalam fleksi lutut, ekstensi panggul, dan rotasi lateral tungkai bawah.
  • Semitendinosus: Otot ini berorigo pada tuberositas ischiadicum dan berinsersi pada bagian proksimal medial tibia, tepat di bawah insersi otot sartorius dan gracilis (membentuk pes anserinus). Semitendinosus berperan dalam fleksi lutut, ekstensi panggul, dan rotasi medial tungkai bawah.
  • Semimembranosus: Otot ini juga berorigo pada tuberositas ischiadicum dan berinsersi pada kondilus medial tibia. Semimembranosus berperan dalam fleksi lutut, ekstensi panggul, dan rotasi medial tungkai bawah, serta membantu dalam stabilisasi sendi lutut.
Secara biomekanik, otot hamstring memiliki peran krusial dalam berbagai gerakan sepak bola. Saat berlari, terutama pada fase swing dan early stance, hamstring bekerja secara eksentrik untuk mengontrol ekstensi lutut dan deselerasi tungkai bawah menjelang kontak kaki dengan tanah. Pada fase late stance dan toe-off, hamstring berkontraksi secara konsentrik untuk menghasilkan ekstensi panggul dan membantu propulsi ke depan. Selain itu, hamstring juga berperan penting dalam stabilisasi lutut dan panggul selama gerakan-gerakan dinamis seperti menendang, melompat, dan mengubah arah.

Mekanisme Terjadinya Cedera Hamstring

Cedera hamstring umumnya terjadi akibat mekanisme yang melibatkan kontraksi eksentrik yang kuat pada otot yang teregang. Beberapa mekanisme spesifik yang sering terjadi dalam sepak bola meliputi:
  • Sprint Intensitas Tinggi: Selama sprint, terutama pada fase akhir ayunan kaki ketika hamstring secara aktif memanjang untuk mengontrol ekstensi lutut dan mempersiapkan kontak dengan tanah, beban eksentrik yang sangat besar dapat melebihi kapasitas jaringan otot, menyebabkan robekan.
  • Akselerasi dan Deselerasi Mendadak: Perubahan kecepatan yang cepat, baik saat memulai sprint (akselerasi) maupun saat berhenti atau mengubah arah (deselerasi), menempatkan tekanan yang signifikan pada otot hamstring. Pada saat deselerasi, hamstring harus bekerja keras untuk mengerem momentum tubuh, yang dapat menyebabkan cedera jika otot tidak siap atau kelelahan.
  • Peregangan Berlebihan: Gerakan-gerakan seperti menendang bola dengan jangkauan maksimal atau melakukan sliding tackle dapat menyebabkan peregangan otot hamstring melebihi batas fisiologisnya, mengakibatkan cedera.
  • Kelelahan Otot: Kelelahan dapat mengurangi kemampuan otot untuk menghasilkan dan mengontrol gaya, sehingga meningkatkan risiko cedera saat terpapar beban eksentrik yang tinggi. Pertandingan atau sesi latihan yang panjang dan intens tanpa pemulihan yang adekuat dapat menjadi faktor predisposisi.
  • Kontraksi Sinergis yang Tidak Terkoordinasi: Ketidakseimbangan kekuatan atau aktivasi antara otot hamstring dan otot quadriceps (antagonisnya) dapat meningkatkan risiko cedera. Jika quadriceps berkontraksi terlalu kuat atau terlalu cepat dibandingkan dengan kemampuan hamstring untuk mengontrol gerakan, dapat terjadi tegangan berlebihan pada hamstring.
Secara biomekanik, cedera hamstring seringkali terjadi pada transisi antara fase swing dan stance saat berlari, atau saat melakukan gerakan yang melibatkan ekstensi panggul dan fleksi lutut secara bersamaan dengan kecepatan tinggi. Lokasi cedera yang paling umum adalah pada bagian proksimal otot biceps femoris, terutama pada persambungan otot dan tendon (musculotendinous junction).

Ragam Cedera Hamstring

Cedera hamstring dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya, yang umumnya dibagi menjadi tiga tingkatan:
  • Grade 1 (Ringan): Melibatkan robekan mikroskopis pada serabut otot. Gejala yang dirasakan biasanya berupa nyeri ringan atau ketidaknyamanan di bagian belakang paha, tanpa adanya kehilangan fungsi yang signifikan. Pemain mungkin masih dapat berjalan dan berpartisipasi dalam aktivitas ringan. Pembengkakan dan memar mungkin minimal atau tidak ada.
  • Grade 2 (Sedang): Melibatkan robekan sebagian (partial tear) pada serabut otot. Gejala yang dirasakan berupa nyeri yang lebih signifikan, kesulitan saat berjalan atau berlari, dan adanya kehilangan fungsi. Pembengkakan dan memar mungkin terlihat lebih jelas. Palpasi pada area cedera dapat mengungkapkan adanya defek atau spasme otot.
  • Grade 3 (Berat): Melibatkan robekan total (complete rupture) pada satu atau lebih otot hamstring. Gejala yang dirasakan berupa nyeri yang sangat hebat dan tiba-tiba, seringkali disertai dengan sensasi "pop" atau robekan. Pemain tidak dapat menahan beban pada kaki yang cedera dan mengalami kehilangan fungsi yang signifikan. Pembengkakan dan memar biasanya jelas terlihat dan dapat meluas. Palpasi dapat mengungkapkan adanya defek yang nyata pada otot.
Selain berdasarkan tingkat keparahan, cedera hamstring juga dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya (misalnya, cedera pada biceps femoris, semitendinosus, atau semimembranosus) dan struktur jaringan yang terlibat (misalnya, cedera otot, tendon, atau persambungan musculotendinous).

Faktor Risiko Cedera Hamstring pada Pemain Sepak Bola

Berbagai faktor risiko telah diidentifikasi berkontribusi terhadap peningkatan kemungkinan terjadinya cedera hamstring pada pemain sepak bola:
  • Riwayat Cedera Hamstring Sebelumnya: Ini merupakan faktor risiko yang paling signifikan. Pemain yang pernah mengalami cedera hamstring memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk mengalami cedera berulang.
  • Kelemahan Otot Hamstring: Kekuatan otot hamstring yang tidak adekuat, terutama dibandingkan dengan kekuatan otot quadriceps (rasio kekuatan hamstring/quadriceps yang rendah), dapat meningkatkan risiko cedera.
  • Ketidakfleksibelan Otot Hamstring: Keterbatasan rentang gerak (ROM) pada otot hamstring dapat meningkatkan tegangan pada otot selama gerakan-gerakan ekstrem.
  • Kelelahan Otot: Kelelahan akibat intensitas latihan atau pertandingan yang tinggi tanpa pemulihan yang cukup dapat mengganggu fungsi neuromuskular dan meningkatkan kerentanan terhadap cedera.
  • Usia: Pemain yang lebih tua cenderung memiliki risiko cedera hamstring yang lebih tinggi, mungkin karena penurunan elastisitas otot dan perubahan fisiologis lainnya terkait usia.
  • Kekuatan Otot Inti yang Tidak Adekuat: Otot-otot inti (core muscles) berperan penting dalam stabilisasi panggul dan transfer gaya selama gerakan. Kelemahan pada otot inti dapat menyebabkan kompensasi gerakan dan meningkatkan beban pada hamstring.
  • Teknik Berlari yang Tidak Efisien: Pola gerakan berlari yang tidak optimal dapat meningkatkan tekanan pada otot hamstring.
  • Kondisi Lapangan dan Peralatan: Permukaan lapangan yang tidak rata atau licin, serta penggunaan sepatu yang tidak sesuai, dapat meningkatkan risiko cedera.
  • Program Latihan yang Tidak Tepat: Peningkatan intensitas latihan yang terlalu cepat atau kurangnya pemanasan dan pendinginan yang adekuat dapat meningkatkan risiko cedera.
  • Faktor Genetik dan Anatomi: Beberapa penelitian menunjukkan adanya kemungkinan faktor genetik yang berperan dalam kerentanan terhadap cedera otot. Perbedaan panjang tungkai juga dapat menjadi faktor risiko.
Prevalensi Cedera Hamstring pada Pemain Sepak Bola

Cedera hamstring merupakan salah satu cedera non-kontak yang paling umum dalam sepak bola profesional dan amatir. Prevalensi cedera hamstring dilaporkan bervariasi tergantung pada populasi pemain, tingkat kompetisi, dan metodologi penelitian. Namun, secara umum, cedera hamstring menyumbang sekitar 12% hingga 16% dari semua cedera yang terjadi pada pemain sepak bola.

Sebuah studi prospektif jangka panjang pada pemain sepak bola profesional di Eropa menemukan bahwa insiden cedera hamstring adalah sekitar 1,8 cedera per 1000 jam bermain. Insiden ini cenderung lebih tinggi selama pertandingan dibandingkan dengan sesi latihan. Cedera berulang juga merupakan masalah signifikan, dengan tingkat rekurensi yang dilaporkan berkisar antara 12% hingga 60%, dan seringkali terjadi dalam beberapa minggu pertama setelah kembali berpartisipasi.

Perbedaan prevalensi dapat ditemukan antara pemain pria dan wanita, meskipun penelitian dalam sepak bola wanita masih terbatas. Beberapa studi menunjukkan tingkat cedera hamstring yang serupa atau bahkan lebih tinggi pada pemain sepak bola wanita dibandingkan pria.

Perubahan Fisiologis dan Psikologis Akibat Cedera Hamstring

Cedera hamstring tidak hanya berdampak pada kondisi fisik pemain, tetapi juga dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan psikologis yang signifikan:
  • Perubahan Fisiologis:
    • Inflamasi: Respons inflamasi akut terjadi setelah cedera, ditandai dengan nyeri, pembengkakan, kemerahan, dan peningkatan suhu di area yang cedera. Proses inflamasi ini penting untuk inisiasi penyembuhan, tetapi peradangan yang berlebihan dapat menghambat pemulihan.
    • Kerusakan Jaringan: Terjadinya robekan pada serabut otot dan jaringan ikat menyebabkan kerusakan struktural yang perlu diperbaiki melalui proses regenerasi dan remodeling jaringan.
    • Nyeri: Nyeri adalah gejala utama cedera hamstring dan dapat bervariasi dari ringan hingga sangat berat, tergantung pada tingkat keparahan cedera. Nyeri dapat membatasi kemampuan pemain untuk bergerak dan berpartisipasi dalam aktivitas.
    • Kelemahan Otot: Cedera dan imobilisasi yang diperlukan selama pemulihan dapat menyebabkan atrofi (penyusutan) otot hamstring dan otot-otot di sekitarnya, mengakibatkan kelemahan.
    • Penurunan Rentang Gerak (ROM): Nyeri, pembengkakan, dan spasme otot dapat membatasi fleksibilitas dan rentang gerak pada sendi panggul dan lutut.
    • Perubahan Kontrol Neuromuskular: Cedera dapat mengganggu komunikasi antara sistem saraf dan otot, menyebabkan penurunan kontrol dan koordinasi gerakan.
  • Perubahan Psikologis:
    • Frustrasi dan Kekecewaan: Pemain yang cedera seringkali merasa frustrasi dan kecewa karena tidak dapat berpartisipasi dalam latihan dan pertandingan, serta merasa kehilangan bagian dari identitas mereka sebagai atlet.
    • Kecemasan dan Ketakutan: Pemain mungkin merasa cemas tentang proses pemulihan, kemungkinan cedera berulang, dan dampaknya terhadap karier mereka. Ketakutan untuk bergerak atau melakukan gerakan tertentu juga dapat muncul.
    • Depresi dan Isolasi: Cedera dapat menyebabkan perasaan sedih, kehilangan motivasi, dan isolasi sosial karena pemain tidak dapat berinteraksi dengan tim seperti biasanya.
    • Penurunan Kepercayaan Diri: Ketidakmampuan untuk tampil di lapangan dapat menurunkan kepercayaan diri pemain dan mempengaruhi performa mereka setelah kembali bermain.
    • Stres dan Tekanan: Tekanan untuk segera kembali bermain dari tim, pelatih, atau diri sendiri dapat menambah beban psikologis pemain yang cedera.
Manajemen cedera hamstring yang efektif harus mempertimbangkan tidak hanya aspek fisik tetapi juga kesejahteraan psikologis pemain. Dukungan psikologis, komunikasi yang baik, dan penetapan tujuan rehabilitasi yang realistis sangat penting untuk membantu pemain mengatasi tantangan psikologis yang terkait dengan cedera.

Prognosis Cedera Hamstring

Prognosis cedera hamstring sangat bervariasi tergantung pada beberapa faktor, termasuk tingkat keparahan cedera, lokasi cedera, riwayat cedera sebelumnya, kepatuhan pemain terhadap program rehabilitasi, dan kualitas manajemen rehabilitasi.
  • Cedera Grade 1: Pemain dengan cedera hamstring grade 1 biasanya dapat kembali berpartisipasi penuh dalam aktivitas olahraga dalam waktu beberapa minggu (biasanya 2-4 minggu) dengan manajemen dan rehabilitasi yang tepat.
  • Cedera Grade 2: Pemulihan dari cedera hamstring grade 2 membutuhkan waktu yang lebih lama, biasanya berkisar antara 4 hingga 8 minggu atau lebih, tergantung pada luasnya robekan dan respons individu terhadap rehabilitasi.
  • Cedera Grade 3: Cedera hamstring grade 3, terutama robekan total yang mungkin memerlukan intervensi bedah, memiliki prognosis pemulihan yang paling lama. Waktu untuk kembali berpartisipasi penuh dapat berkisar antara beberapa bulan (3-6 bulan atau lebih).
Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi prognosis meliputi:
  • Lokasi Cedera: Cedera pada persambungan musculotendinous dan cedera yang melibatkan tendon cenderung membutuhkan waktu pemulihan yang lebih lama dibandingkan cedera intramuskular.
  • Keterlibatan Lebih dari Satu Otot Hamstring: Cedera yang melibatkan lebih dari satu otot hamstring mungkin memerlukan waktu pemulihan yang lebih lama.
  • Adanya Komplikasi: Komplikasi seperti nyeri kronis, kelemahan persisten, atau cedera berulang dapat memperburuk prognosis.
  • Kepatuhan Terhadap Rehabilitasi: Keterlibatan aktif dan kepatuhan pemain terhadap program rehabilitasi yang dirancang dengan baik sangat penting untuk pemulihan yang optimal dan pencegahan cedera berulang.
Penting untuk dicatat bahwa perkiraan waktu pemulihan bersifat individual dan dapat bervariasi. Pengambilan keputusan untuk kembali bermain harus didasarkan pada kriteria klinis yang ketat, termasuk tidak adanya nyeri, rentang gerak penuh, kekuatan otot yang simetris, dan kemampuan untuk melakukan gerakan spesifik olahraga tanpa gejala.

Proses Rehabilitasi Cedera Hamstring untuk Kembali Bermain Sepak Bola

Rehabilitasi cedera hamstring merupakan proses bertahap yang bertujuan untuk mengurangi nyeri dan peradangan, memulihkan rentang gerak, meningkatkan kekuatan otot, memperbaiki kontrol neuromuskular, dan akhirnya mengembalikan pemain ke tingkat aktivitas pra-cedera dengan aman dan efektif. 

Proses rehabilitasi umumnya dibagi menjadi beberapa fase:
  • Fase 1: Perlindungan dan Pengendalian Nyeri (Hari ke-1 hingga Minggu ke-1)
    • Tujuan: Mengurangi nyeri, peradangan, dan perdarahan awal. Melindungi jaringan yang cedera untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
    • Intervensi:
      • R.I.C.E. (Rest, Ice, Compression, Elevation): Istirahat dari aktivitas yang memperberat gejala, aplikasi es secara teratur (15-20 menit setiap 2-3 jam), kompresi dengan perban elastis, dan elevasi tungkai yang cedera di atas ketinggian jantung.
      • Penggunaan Alat Bantu: Kruk atau alat bantu jalan lainnya mungkin diperlukan untuk mengurangi beban pada tungkai yang cedera, terutama pada cedera grade 2 dan 3.
      • Manajemen Nyeri: Penggunaan obat pereda nyeri oral atau topikal sesuai anjuran dokter.
      • Mobilisasi Pasif dan Aktif Terbantu: Latihan gerakan ringan dalam batas nyeri untuk menjaga sirkulasi dan mencegah kekakuan sendi.
  • Fase 2: Pemulihan Rentang Gerak dan Kontrol Nyeri (Minggu ke-1 hingga ke-3)
    • Tujuan: Meningkatkan rentang gerak sendi panggul dan lutut secara bertahap. Melanjutkan pengendalian nyeri dan peradangan. Memulai aktivasi otot hamstring ringan.
    • Intervensi:
      • Latihan Rentang Gerak Aktif dan Pasif: Latihan peregangan lembut dan terkontrol dalam batas nyeri, seperti heel slides, pendulum swings, dan peregangan hamstring ringan.
      • Mobilisasi Jaringan Lunak: Teknik manual seperti soft tissue massage dan myofascial release untuk mengatasi spasme otot dan meningkatkan fleksibilitas jaringan.
      • Latihan Aktivasi Otot Isometrik: Kontraksi otot hamstring tanpa gerakan sendi (misalnya, menekan tumit ke lantai).
      • Latihan Otot Inti Ringan: Aktivasi otot-otot stabilisator panggul dan perut.
      • Latihan Kardiovaskular dengan Dampak Rendah: Sepeda statis atau berenang untuk menjaga kebugaran tanpa membebani hamstring.
  • Fase 3: Peningkatan Kekuatan dan Daya Tahan Otot (Minggu ke-3 hingga ke-6)
    • Tujuan: Meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot hamstring secara progresif. Memperbaiki kontrol neuromuskular dan stabilitas.
    • Intervensi:
      • Latihan Kekuatan Progresif: Dimulai dengan latihan beban tubuh (misalnya, bridging, prone leg curls), kemudian secara bertahap menambahkan beban eksternal menggunakan resistance band atau beban ringan.
      • Latihan Eksentrik: Latihan yang menekankan kontraksi otot saat memanjang (misalnya, Nordic hamstring exercise) sangat penting untuk memulihkan kemampuan hamstring dalam mengontrol deselerasi.
      • Latihan Fungsional: Latihan yang meniru gerakan-gerakan dalam sepak bola dengan intensitas rendah, seperti squats, lunges, dan step-ups.
      • Latihan Proprioceptive: Latihan keseimbangan dan koordinasi untuk memperbaiki kontrol neuromuskular (misalnya,

Referensi 
  1. Brukner, P., & Khan, K. (2017). Brukner & Khan's Clinical Sports Medicine (5th ed.). McGraw-Hill Education. (Buku ini merupakan sumber komprehensif dalam kedokteran olahraga, termasuk bab yang membahas cedera otot hamstring secara mendalam.)
  2. Askling, C., Tengvar, M., & Thorstensson, A. (2006). A new hamstring muscle strength test with special reference to eccentric strength and injury risk in soccer players. Knee Surgery, Sports Traumatology, Arthroscopy, 14(11), 1127–1134. (Artikel penelitian ini memperkenalkan tes kekuatan hamstring baru dan membahas hubungannya dengan risiko cedera pada pemain sepak bola.)
  3. Opar, D. A., Williams, M. D., & Shield, A. J. (2012). Hamstring strain injuries: factors influencing diagnosis, prognosis, and prevention. Sports Medicine, 42(3), 209–226. (Artikel tinjauan ini membahas faktor-faktor yang mempengaruhi diagnosis, prognosis, dan pencegahan cedera hamstring.)
  4. van der Horst, N., Smits, D. W., Petersen, J., Goedhart, E. A., & Backx, F. J. (2015). The preventive effect of the Nordic hamstring exercise on hamstring injuries in amateur soccer players: a randomized controlled trial. The American Journal of Sports Medicine, 43(6), 1316–1323. (Artikel penelitian ini menyelidiki efektivitas latihan Nordic hamstring dalam mencegah cedera hamstring pada pemain sepak bola amatir.)
  5. Schuermans, J., Van Tiggelen, D., Danneels, L., & Witvrouw, E. (2016). Proximal isokinetic hamstring strength protects against hamstring injuries in male soccer players: a prospective study. The American Journal of Sports Medicine, 44(9), 2176–2183. (Artikel penelitian ini meneliti peran kekuatan hamstring proksimal dalam melindungi terhadap cedera hamstring.)
  6. Ekstrand, J., Hägglund, M., & Walden, M. (2016). Epidemiology of muscle injuries in professional football (soccer). The American Journal of Sports Medicine, 44(9), 2165–2171. (Artikel penelitian ini menyajikan data epidemiologi mengenai cedera otot, termasuk hamstring, pada pemain sepak bola profesional.)
  7. Malliaras, P., Mendiguchia, J., Gojanovic, B., Garofalo, P., Schöttl, P., Reiman, M. P., ... & Schilders, E. (2018). Hamstring injuries: clinical assessment and return-to-sport considerations. Journal of Orthopaedic & Sports Physical Therapy, 48(12), 917–929. (Artikel ini membahas penilaian klinis dan pertimbangan kembali ke olahraga setelah cedera hamstring.)
  8. Mendiguchia, J., Martinez-Ruiz, E., Edouard, P., Cornu, C., Malliaras, P., & Blazevich, A. J. (2017). A multifactorial model for hamstring injury risk in soccer players. British Journal of Sports Medicine, 51(17), 1362–1368. (Artikel ini mengusulkan model multifaktorial untuk risiko cedera hamstring pada pemain sepak bola.)